Oleh : Izzat.mg || Mahasiswa UIN Jkt
BAB I
PENDAHULUAN
Mencari
kebenaran adalah fitrah bagi manusia. Sejak dilahirkan ke dunia, manusia akan
terus mencari, mempelajari dan berusaha untuk memahami segala sesuatu yang ada
di sekalilingnya, keadaan tersebut terus berlanjut hingga saat ini, setiap
generasi yang telah lalu akan dilanjukan oleh generasi sesuadahnya, dan semua
hal itu dilakukan hanya untuk satu tujuan, yaitu untuk mendekati sesuatu yang
dinamakan kebenaran. Tak jarang generasi yang baru menemukan sesuatu yang baru
dan berbeda dari apa yang telah ditemukan oleh generasi sebelumnya. Yang
kemudian memicu timbulnya perpecahan perpecahan.
Begitu juga
dengan agama, dalam perkembangannya dia tidak terhidar dari apa yang namanya
perbedaan
dan perpecahan. Faktanya bahwa hampir keseluruhan dari semua agama yang tercatat dalam sejarah perdaban manusia telah/pernah terpecah menjadi beberapa aliran. Begitu pula dengan Agama Buddha, dalam perjalanannya dia telah terpecah menjadi banyak sekte yang beberapa diantaranya telah bertahan dan bahkan mampu menunjukkan eksistensinya dalam kancah peradaban manusia pada zaman post moderen ini.
dan perpecahan. Faktanya bahwa hampir keseluruhan dari semua agama yang tercatat dalam sejarah perdaban manusia telah/pernah terpecah menjadi beberapa aliran. Begitu pula dengan Agama Buddha, dalam perjalanannya dia telah terpecah menjadi banyak sekte yang beberapa diantaranya telah bertahan dan bahkan mampu menunjukkan eksistensinya dalam kancah peradaban manusia pada zaman post moderen ini.
Salah satu dari
sekte-sekte yang disebutkan di atas adalah sekte NICHIREN. Sekte tersebut
berasal dari negeri jepang dan merupakan salah satu pecahan dari aliran Buddha
Mahayana yang berkembang dengan pesat di daerah Asia bagian timur (China, Korea
dan Jepang). Aliran Nichiren didirikan (dalam bentuk sebuah organisasi) pada
pertenganhan abad ke-13 M. oleh Nikko Shonin yang merupakan murid utama dari
Nichiren Daishonin. Dan kemudian masuk dan mulai berkembang di Indonesia
kira-kira pada tahun 1950 M.
Ajaran Nichiren
Shoshu bersumber kepada salah satu sutra, yaitu saddharma pundarika
sutra (bagian dari Sutta Pitaka). Pada tahun 1977 pemerintah
Republik Indonesia melalui Departemen Agama telah menerbitkan kitab sucinya
dengan judul Saddharma Pundarika[1]
atau Ajaran Dharma Teratai. Pada masa awal perkembangannya muncul pertentangan
antara NSI (Nichiren Shoshu Indonesia) dengan WALUBI (Perwlian Agama Buddha
Indonesia). Sebagai satu-satunya wadah bagi umat Buddha di Indonesia, WALUBI
mempermasalahkan inti ajaran dari NSI yang hanya merujuk pada Saddharma
Pundarika Sutra dan mengabaikan sutra-sutra lainnya (Sutta
Pitaka, Vinaya Pitaka dan Abidhamma Pitaka).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN NICHIREN SHOSHU
Nichiren Shoshu
merupakan salah satu dari sekian banyak sekte agama Buddha Mahayana (aliran
Buddha yang berkembang pesat di daerah Asia Timur). Sekte tersebut muncul di
Jepang sekitar abad ke-13 M. kemunculannya bertujuan untuk mengingkari
sekaligus meluruskan kembali semua sekte lain yang muncul sebelumbnya dan
berkembang di jepang (Zen/Cha’n, Amida, Nembutsu dsb.), dengan kata lain,
sebagai antitesa terhadap sekte-sekte lainnya. Menurut sebagian ahli, Sekte ini
adalah hasil dari sinkretitasi antara agama Buddha dan Sintho. Karena di
dalamnya banyak dijumpai dewa-dewa yang disembah dalam agam Sintho.
Sekte Nichiren
Shoshu didirikan oleh Nichiren Daishonin (1222-1282) pada pertengahan
abad ke-13 M., tepatnya pada 21 April 1253. Asal mulanya adalah pengembangan
dari sekte Tendai (T’ien T’ai)[2]. Sebuah
sekte dari Buddha aliran Mahayana, didirikan di cina oleh Mahaguru Tien Tai, Chih-i
(Tendai Daishi, 538-597). Sekte tersebut Menjadikan Saddharma Pundarika
Sutta (tiongkok; Miao
Hua Lien Hwa Cing, jepang; Hokkekyo, Ind.; Sutra
Teratai, Ing.; Lotus Sutra) sebagai ajaran pokoknya. Kemudian aliran
tersebut dibawa dan disebarluaskan ke jepang oleh Saicho atau Mahaguru Dengyo[3] (Dengyo
Daishi, 767-822) pada abad ke-8 Masehi. Di Jepang, sekte ini juga dikenal
dengan nama Hokke-Shu atau Sekte Sutra Teratai.
I.
Riwayat Hidup Nichiren Daysonin
Nichiren Daishonin
dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1222. Ayahnya adalah Mikuni-no-Tayu Shigetada, atau juga dikenal dengan
nama Nukina Shigetada Jiro (w. 1258 M) dan Ibunya
bernama Umegiku-nyo
(w. 1267 M). Keluarganya Merupakan keluarga nelayan miskin
yang tinggal di desa kecil Kominoto, di daerah Tojo distrik Nagase propinsi Awa
(saat ini termasuk Prefecture Chiba)[4]. Saat
dilahirkan orang tuanya memberinya nama Zennichimaro, yang berarti “matahari yang hebat”
atau “anak sang matahari yang berbudi tinggi”. Dalam sebuah
keterangan dikatakan bahwa ayahnya adalah keturunan seorang Samurai yang
diasingkan karena usrusan politik[5].
Namun dalam keterangan lain, Nichiren Daishonin menyebut dirinya sebagai Putera
dari keluarga Chandala[6]
(Sanskrit; kasta paling rendah/golongan yang termarginalkan) yang tinggal di
dekat laut di
daerah
Tojo Propinsi Awa, di pedesaan terpencil di bagian
timur Jepang.
Pada usia 12 tahun, Zennicimaro meninggalkan keluarganya
untuk mempelajari Hukum agama Buddha dibawah bimbingan seorang bhikku yang
bernama Dozenbo, kepala dari kuil aliran Tendai yang bernama Seicho-ji
(juga dikenal dengan nama Kiyosumi-dera) yang terletak di dekat desa
Kominoto. Di usianya yang ke-15 dia memotong rambutnya menjadi seorang Samanera
dengan bimbingan bhikkhu Dozenbo dengan nama baru, yaitu Zensho-bo Rencho.
Sejak saat itu dia semakin memperdalam pengetahuannya tentang agam Buddha,
hingga akhirnya tidak seorangpun bikkhu-di kuil tempat dia belajar- mampu
menjawab persoala-persoalan yang dia ajukan, termasuk gurunya sendiri, yakni bikkhu
Dozenbo. Akhirnya pada usia yang ke-17 Rencho berinisiatif untuk mencari
sendiri jawaban dari persoalan-persoalan tadi dengan cara berkelana ke
kuil-kuil (sekte) lain dan mempelajari agama buddha secara lebih mendalam.
Pertama-tama Rencho
pergi ke kota kamakura pada tahun 1241, dan belajar di perpustakaan kuil Hachimanguji[7].
Saat itu kamakura merupakan menjadi pusat peradaban dan kebudayaan kedua di jepang
selain kota Kyoto. Rencho tidak tinggal lama di daerah itu, karena ia menemukan
bahwa daerah tersebut tidak dibangun diatas pilar-pilar ajaran agama Buddha Sakyamuni.
setelah tinggal selama empat bulan, iapun kembali ke kuil Kiyosumi-dera,
tempat dia berasal.
Namun ia juga
tidak tinggal lama di kuil asalnya. Karena ia sadar bahwa perpustakaan kuil itu
terlalu kecil untuk memuaskan keinginannya mendalami agama Buddha.
Pada tahun yang
sama (1241), kira-kira pada usianya yang ke-21, ia pergi ke kuil Enryakuji yang
merupakan pusat dari sekte tendai di jepang. Kuil itu terletak diatas gunung Hiei
(Hieizan) di daerah Kyoto-nara, yang mana pada masa itu daerah
tersebut adalah tempat terpenting dalam Buddisme jepang, karena merupakan pusat
kegiatan dan pembelajaran agama Buddha[8]. Selain
mempelajari agama Buddha di kuil pusat (Enryakuji), ia juga mengunjungi
guru-guru, kuil-kuil dan pusat-pusat kegiatan agama Buddha yang ada di
sekitarnya.
Setelah belajar
selama kurang lebih 11 tahun, Rencho mendapatkan pengertian dan yakin bahwa
dari sekian banyak sutra, hanya Sutra Teratai dan mantra Nam-Myoho-Renge-Kyo
(adalah inti dari sutra teratai) yang merupakan inti dari semua ajaran-ajaran
Budddha Sakyamuni, serta merupakan satu-satunya solusi yang mampu menyelamatkan
umat manusia dari kesengsaraan (Dukkha) di zaman Mappo (Mo Fa) atau dimasa
akhir dharma. Di awal tahun 1253 Rencho meninggalkan gunung Hiei dan kembali ke
Kiyosumi-dera, ke kuil asalnya.
Pada tanggal 20
April 1253 Rencho sampai di kuil Kiyosumi-dera. Ia disambut oleh Gurunya-bhikku
Dozenbo-dan murid lain yang lebih tua. Mereka sangat gembira menerima
kembalinya Rencho dalam keadaan sehat serta mengagumi perkembangan yang
diperoleh dari pusat ajaran agama Buddha Tientai selama ini. Pada keesokan
harinya Rencho mengunci dirinya didalam sebuah kamar di dalam kuil untuk
bermeditasi selama seminggu.
Pada pagi hari
tanggal 28 April 1253, saat itu usianya diperkirakan 31 tahun. Pagi itu ia
berdiri di atas tebing bukit Senkozan yang terletak di dekat kuil Kiyosumi-dera,
dan untuk pertama kalinya menyebutkan mantra Nam-Myoho-Renge-Kyo sambil
menghadap kea arah matahari yang sedang terbit. Saat itulah memantapkan hati
dengan keyakinan dan kepercayaan baru serta mengganti namanya dengan Nichi-Ren
(nichi; matahari, ren; teratai), yang di kemudian hari dijadikan sebagai nama
dasar dari seke tersebut (Nichiren-shu; sekte Nichiren).
Pada hari yang sama Nichiren memberikan ceramahnya
yg pertama, di taman Syobucebo (masih di area kuil Kiyosumi-dera), yang dihadiri oleh
guru, saudara seperguannya dan para tamu undangan, Nichiren mengkritik ajara-ajaran dari sekte lain,
termasuk sekte Nembutsu. Salah satu dari undangan yang hadir adalah Gubernur
Tôjô Kagenobu, yang merupakan pendukung fanatik dari sekte Nembutsu. Ia menjadi
marah ketika mendengar kritikan Nichiren atas kepercayaannya. Kemudian memerintahkan
pasukannya untuk menangkap dan menghukum Nichiren. Namun akhirnya sang bikkhu
berhasil meloloskan diri dengan bantuan saudara seperguruannya.
Nichiren kemudian pergi ke Kamakura untuk
menyebarkan ajarannya. Ia tinggal di Matsubagayatsu, di distrik pusat kota
tersebut. Nichiren terus menyebarkan ajarannya dan selalu mengajak setiap orang
yang ditemuinya untuk kembali kepada ajaran Buddha Sakyamuni melalui Sutra
Teratai. Di kota ini ia mendapatkan tiga orang murid pertamnya, yaitu Nissho
Shonin, Nichiro Shonin dan Nikko Shonin.
Selama tinggal di Kamakura Nichiren semakin banyak
mendapatkan pengikut. Namun, selain itu orang yang membencinya juga bertambah.
Salah satunya adalah Hojo Shigetoki, salah satu keluarga Hojo yang memiliki
pengaruh sangat besar di kota Kamakura. Hal itu dikarenakan, di dalam
tulisannya Nichiren mengungkapkan beberapa hal yang menjatuhkan nama keluarga
Hojo. Di kemudian hari Hojo Shigetoki menyewa orang untuk membakar tempat
pertapaan Nichiren yang menyebabkan nichiren harus mengungsi ke tempat tinggal
Toki Tsunenobu di Nakayama di propinsi Shimousa. Dan juga menekan pemerintah
setempat untuk mengasingkan Nichiren.
Atas desakan Hojo Shigetoki, pemerintah memutuskan
untuk membuang Nichiren ke tempat pengasingan di Ito propinsi Izu
(Shizuoka-ke). Pada pagi hari tanggal 12 Mei 1261, Nichiren ditangkap dan
dikirim dengan menggunakan kapal dari pantai Yuigahama menuju Ito. Ia ditahan
di Ito kira-kira selama satu setengah tahun. Selama tinggal disana dia
menghasilkan banyak tulisan, salah satunya adalah Kyoki-jikoku-sho,
sebuah tulisan yang berisi tentang Goko atau lima ajaran. Pada tanggal 22 februari 1263 ia dibebaskan dan kembali ke
kamakura.
Dari tahun 1264 sampai 1267 Nichiren melakukan perjalanan
ke tempat lain untuk menyebarkan ajarannya. Ia melewati propinsi Awa, Kazusa
dan Shimousa. Dalam perjalanan itu ia banyak mendapatkan pengikut dan murid,
beberapa diantaranya adalah Niko Shonin dan Nitcho. Nichiren kembali ke
Kamakura pada awal tahun 1268.
Setelah kembali ke kamakura Nichiren tetap
menyebar luaskan ajarannya. Setiap hari semakin banyak penduduk kota Kamakura
yang menjadi Pengikutnya. Hal itu membuat penguasa setempat (yang menganut
sekte nembutsu) semakin benci kepadanya. Sampai-sampai salah satu penguasa
menangkap dia dan hampir menjatuhkan hukuman mati padanya. Tapi akhirnya ia
diasingkan dan ditahan di sebuah gubuk yang bernama Sammaido di Tsukahara di
pulau Sado pada tanggal 1 November 1271.
Di Tsukahara Nichiren menghasilkan sebuah tulissan
yang bernama Kaimokusho. Kemudian ia kirimkan tulisan tersebut kepada Shijo
Kingo, muridnya yang menjadi bawahan Hojo Matsutoki, seorang anggota penting
dari keluarga Hojo. Kemungkinan hal itulah yang menyebabkan di kemudian hari
pada tahu 1274 ia dipindahkan ke tempat yang lebih layak, yaitu di kediaman
Kondo Kiyohisa, masih di pulau yang sama, pulau Sado.
Nichiren mendapatkan pengamponan pada tanggal 8
Maret 1274. Ia meninggal-kan pulau sado pada tanggal 13 maret dan kembali ke
kota kamakura pada tanggal 16 maret pada tahu yang sama. Nichiren tinggal di
Kamakura hanya sekitar lima minggu. Kemudian dengan sedikit pengikut Ia
meninggalkan kota tersebut pada tanggal 12 Mei 1274 dan masuk ke pedalaman
daerah pegunungan Minobu di daerah Hakii propinsi Kai (Yamanashi-ken) pada
tanggal 17 Mei di tahun yang sama. Sejak saat itu Nichiren tidak pernah meninggalkan
Minobu Selama Hampir Sembilan tahun, sampai pada saat ia jatuh sakit di tahun
1278. Karena ingin menyembuhkan penyakitnya dengan mandi di sumber mata air
panas, ia pergi ke daerah Kakurai di propinsi Hitachi (lbaraki-ken). Ia
meninggalkan Minobu pada tanggal 8 September dan tiba di tempat tinggal Ikegami
Munenaka di daerah Ikegami di propinsi Musashi (Tokyo) pada tanggal 18
September. Pada tanggal 8 Oktober, ia memilih dari antara murid2nya untuk
menjadi penerusnya. Selanjutnya mereka dianakan Rokurôsô atau Enam Murid
Senior, yaitu Nisshô Nichirô Nikkô Nikô, Nitchô and Nichiji. Nichiren meninggal
di Ikegami pada tanggal 13 October 1282, pada usia enam puluh tahun.
II.
Rokuroso (Enam Murid Utama) Nichiren
1. Nichiro
Shonin (1245 – 1230 )
Nichiro
menjadi pengikut Nichiren Shonin pada tahun 1254. Ia merupakan salah satu murid
paling setia dan sering juga disebut sebagai ‘murid kesayangan’ Nichiren
Shonin. Ketika Nichiren Shonin dibuang ke Izu, Nichiro berusaha mengikutinya
dengan cara ikut melompat ke laut. Namun Para samurai berhasil mengusirnya
dengan dayung yang mengakibatkan tangan Nichiro menjadi cacat selamanya.
Ketika
kembali ke Kamakura pada tahun 1274, Nichiren menugaskan Nichiro untuk memimpin
sebuah kuil baru di Hikigayatsu, Kamakura, yang bernama kuil Myohonji. Karena
pusat aktivitas Nichiro terletak di Kamakura, garis keturunan Nichiro juga
dikenal dengan garis keturunan Hikigaytsu.
Nichiro
juga memulai sebuah aula pelatihan di rumah Munenaka Ikegami setelah Nichiren
wafat disana pada tahun 1282, yang akhirnya pada tahun 1288 berubah menjadi
kuil Honmonji. Pusat administrasi Nichiren Shu saat ini terletak disana. Karena
alasan inilah, garis keturunan Nichiro juga disebut garis keturunan Ikegami.
Nichiro menunjuk Sembilan Murid Senior (Kurosu) untuk melanjutkan usahanya
dalam menyebarluaskan ajaran Nichiren Shonin. Kesembilan murid tersebut antara
lain adalah : Nichizo, Nichirin, Nichizen, Nichiden, Nichihan, Nichiin, Nitcho,
Nichigyo, and Rokei.
2. Nikko
Shonin (1246-1333)
Nikko
(1246-1333) bertemu dengan Nichiren Shonin di kuil Jissoji pada tahun 1257.
Pada saat itu Nichiren Shonin sedang merampungkan Rissho Ankoku-ron.
Belakangan, Nikko memiliki banyak pengikut di propinsi Suruga, Kai, dan Izu.
Nichiji (salah satu dari Enam Murid Utama) yang awalnya merupakan murid Nikko
sebelum akhirnya menjadi pengikut Nichiren Shonin. Pada bulan September 1285,
Nikko mendirikan kediaman tetapnya di Gunung Minobu.
Pada
tahun 1291, Nikko pindah ke kota Omosu di Kitayama dimana ia mendirikan kuil
Honmonji pada bulan Februari 1298 dengan bantuan dari Nitcho. Dia menghabiskan
sisa hidupnya di kuil ini, dan garis keturunannya dikenal sebagai garis
keturunan Fuji.
3. Nissho
Shonin (1221-1323)
Nissho
(1221-1323) sebelumnya merupakan sesama murid dengan Nichiren Shonin ketika
belajar di Gunung Hiei. Meski setahun lebih tua, ia begitu terkesan dengan
Nichiren Shonin sehingga bergabung menjadi pengikutnya di Kamakura ketika
Nichiren pertama kali berceramah disana pada tahun 1253. Dikatakan bahwa Nissho
diadopsi oleh Kanoye Kanetsune, pemimpin ketiga dari keluarga Kanoye, sebuah
keluarga bangsawan di Kyoto. Hubungan ini kelak akan mempunyai arti penting
dalam penyebar luasan Buddhisme Nichiren.
Setelah
peristiwa Tatsunokuchi, Rissho mendirikan kediamannya di Hama, Kamakura. Pada
tahun 1284, pertapaan Hamado berubah menjadi kuil Hokkeji. Karena garis
keturunan Nissho pertama kali berasal dari Hama, maka dikenal pula dengan
sebutan garis keturunan Hama.
4. Niko
Shonin (1253-1314)
Niko
(1253-1314) merupakan anak seorang samurai dari Mobara, Kazusa. Ia sedang
menjadi pendeta pemula di Gunung Hiei pada saat ayahnya bertemu dengan Nichiren
Shonin pada tahun 1265. Ayahnya begitu terkesan sampai ia membawa Niko kembali
dari Gunung Hiei untuk menjadi pengikut Nichiren Shonin. Niko kemudian
mengajarkan Saddharma Pundarika Sutra di kota kelahirannya Mobara. Tetapi
ketika ia mengetahui berita tentang pengasingan Nichiren Shonin, ia mengikuti
Beliau ke pulau Sado. Atas alasan inilah ia dikenal sebagai Master Sado.
Setelah
wafatnya Nichiren Shonin, Niko mendirikan kuil Myokoji di Mobara. Pada tahun
1285, ia meninggalkan Mobara dan pergi membantu Nikko di Gunung Minobu.
Sayangnya, ia dan Nikko tak mampu mempersatukan perbedaan pendapat di antara
mereka sehubungan dengan permasalahan tuan Hakii sehingga akhirnya Nikko pergi
pada tahun 1288.
Niko
kemudian seorang diri bertanggung jawab atas Gunung Minobu, tapi ia sering
mengadakan perjalanan kembali ke Mobara. Karena alasan inilah, Niko dianggap
sebagai pendiri dua garis keturunan: garis keturunan Mobara dan garis keturunan
Minobu. Niko menugaskan muridnya, Nisshin untuk mengurusi Gunung Minobu; dan
muridnya yang lain, Nisshu untuk mengurus kuil Myokoji di Mobara. Kuil Myokoji
saat ini dikenal dengan kuil Sogenji.
5. Nitcho
Shonin (1252-1317)
Nitcho
(1252-1317) merupakan anak angkat dari salah satu pengikut Nichiren Shonin dari
kalangan awam, Toki Jonin (1214-1299). Ia adalah pendeta pemula di kuil Guboji
di Mama, salah satu kuil Tendai di Shimofusa. Atas rekomendasi ayah angkatnya,
Yoki Jonin, ia menjadi pengikut Nichiren Shonin pada tahun 1267. Ia juga ikut
menemani Nichiren Shonin dalam pembuangannya ke pulau Sado.
Pada
tahun 1278, Nitcho berhasil memenangkan debat melawan kepala pendeta di kuil
Guboji dan tak lama kemudian mengambil alih kuil tersebut. Sayangnya, hubungan
antara Nitcho dan Yoki Jonin kemudian berakhir. Pada tahun 1292, Nitcho pergi
ke Omosu, Kitayana tempat kelahirannya. Di Omosu, ia bergabung dengan Nikko dan
membantunya mendirikan kuil Honkonji. Adapun kuil Guboji kemudian diambil alih
oleh bekas ayah angkatnya, Yoki jonin yang menjadi menabihkan diri menjadi
bikkhu dengan nama Nichijo.
6. Nichiji
Shonin (1250-1305)
Nichiji
(1250-1305) juga merupakan putra seorang samurai. Ia menjadi pelajar pemula di
kuil Jissoji, dimana Nikko bertemu dengan Nichiren Shonin untuk pertama
kalinya. Pada tahun 1270, ia bertemu Nikko dan menjadi pengikutnya. Nikko
kemudian membawa Nichiji untuk bertemu dengan Nichiren Shonin di Kamakura, dan
mengijinkannya untuk menjadi murid langsung Nichiren Shonin. Pada tahun 1280 ia
mendirikan aula pelatihan di Mimatsu, kota kelahirannya. Kelak tempat ini akan
berubah menjadi kuil Reneiji.
Setelah
wafatnya Nichiren Shonin, ia memutuskan berkelana ke luar negeri untuk memenuhi
impian gurunya memulihkan kembali ajaran sesungguhnya dari sang Buddha di India
dan China. Pada tanggal 13 Oktober 1294, ia menghadiri upacara peringatan
wafatnya Nichiren Shonin untuk yang terakhir kalinya. Pada tanggal 1 januari
1295 ia memulai perjalanannya ke Cina. Ia diyakini meninggal di Senka, Cina.
Nichiji tidak memiliki garis keturunan, tetapi ia dikenang sebagai missionaris
oleh Nichiren Shu.
B.
AJARAN DASAR NICHIREN DAISHONIN
Nichiren Daishonin melakukan pembaharuan yang
radikal terhadap ajaran-ajaran dari seluruh sekte yang ada, kecuali pada sekte
Tendai, ia tidak menolak ajarannya secara keseluruhan. Karena alirnnya memang
berdasar dari ajaran Buddha Sakyamuni melalui jalur sekte Tientai.
Salah satu ajaran-ajaran pokok dari Nichiren
Daysoni adalah tentang Tiga Hukum Rahasia Agung, adapun perinciannya
sebagai berikut :
I.
Tiga Hukum Rahasia Agung (san dai hi ho)
Lima aksara
Myo-Ho-Ren-Ge-Kyo adalah Intisari Ajaran yang penting dari Penerangan yang
dicapai oleh Buddha Sakyamuni Abadi. Ketika manusia dapat menyadari hal ini,
maka ia juga dapat mencapai tingkatan yang sama sebagai Buddha Sejati.
Kandungan dasar dari mantra tersebut adalah Honmon no Daimoku, Honmon no Honzon
(Gohonzon) dan Honmon no Kaidan[9].
1.
O’Daimoku
Daimoku adalah
bahas jepang yang berarti judul. Judul yang dimaksudkan di sini adalah judul
dari Sutra Teratai, yaitu Saddarma Pundarika Sutra. Saddharma memiliki arti
Dharma Sejati. Sedangkan Pundarika berarti Bunga teratai. Di indonesi biasa
disebut dengan Hukum Gaib Sutra Bung Teratai.
Nichiren Shonin
mengajarkan kepada para pengikutnya untuk selalu menyebut mantra Nam-Myoho-Renge-Kyo
(judul Sutra teratai versi bahasa jepang). Secara harfiah arti dari mantra Nam-Myoho-Renge-Kyo
adalah sebagai berikut : Nam berarti aku pasrah, Myoho berarti Hukum
Gaib, Renge berarti Teratai, Kyo berari ajaran Buddha (Suttra).
Jadi jika dirangkap, maka akan menjadi “aku mengabdikan diri pada hukum alam
yang diajarkan di dalam Surta Teratai”.
Adapun
kandungan makna yang lebih spesifik adalah “aku mengabdikan diriku terhadap
kebenaran falsafah hidup yang tak terlukiskan kedalaman dan keindahannya yang
dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddhisme yang paling
luhur”[10].
Berdasarkan
pengertian tersebut Nchiren berkesimpulan bahwa hanya dengan hidup yang selaras
dan menyatu dengan alam, maka manusia bisa mendapatkan kebahagiaan tertinggi,
kebahagiaan mutlak yang tak tergoyahkan, atau biasa disebut dengan Alam
ke-Buddha-an.
2.
GoHonzon (Mandala Agung)
Meupakan
Tulisan
Nichiren Daishonin, dari “Ho’on Jo”, salah satu dari Tiga Hukum Rahasia Agung. Go
adalah suatu awalan kehormatan yang bisa dihilangkan tanpa merubah arti kata.
Hon mempunyai makna akar, fundamental, asal muasal, yang terutama, atau yang
terunggul. Son atau Zon berarti yang dimuliakan atau yang terhormat. Bisa dikatakan
Gohonzon adalah objek pemujaan yang dijadikan sebagai pusat pengarahan
konsentrasi dalam bermeditasi. Akan tetapi, istilah “objek pemujaan” tidak
dipakai oleh Nichiren, karena bermakna terlalu dangkal dan tanpa perasaan,
suatu istilah yang digunakan untuk Gohonzon adalah “Yang Paling Mulia di dunia
ini”.
3.
Kaidan
Kaidan secara
harfiah berarti sebuah balai/tempat untuk membabarkan ajaran Buddha. Sekaligus
menjadi tempat bagi para calon Bikkhu menerima pengajaran dan melakukan sumpah
setia kepada sang Buddha.
Dalam ajaran
Nichiren Daishonin, Kaidan memiliki arti yang lebih luas. Kaidan (disebut
sebagai Honmon no Kaidan) dimaksudkan sebagai tempat dimana para pengikut
Nichiren melakukan pemujaan, menyebut mantra Odaimoku. Dimana semua orang dapat
menyatakan kebulatan tekad untuk mengubah hidup, memperbaiki diri sendiri dan
orang lain. Hal itu dilakukan dengan membersihkan diri dari karma yang
menyedihkan dengan peranara kekuatan Daigohonzon yang maha besar.
Sebagaimana dijelaskan
pada materi-materi yang telah lalu, ada lima ajaran yang harus dijaga oleh
setiap pemeluk agama Buddha. Akan tetapi, dalam ajarannya Nichiren Shonin tidak
menekan pada kelima hal tersebut, sebab hal itu lebih menyangkut pada masalah
moral daripada ajaran keagamaan. Dalam Nichiren Shu, ajaran yang harus dijaga
adalah menjaga Honzon, Daimoku
dan Kaidan.
II.
Filsafat Buddhisme Nichiren
Sebagaimana
halnya dengan ajaran-ajaran para Buddha sebelumnya, ajaran Nichiren Shonin juga
menitikberatkan terhadap perbaikan etika dan moral, atau-kita mengenalanya sebagai-aksiologi,
salah satu kategorisasi filsafat Yunani.
Dalam ajarannya
Nchiren menjelaskan tentang filsafat hidup manusia, lebih jelasnya tentang
jalan yang harus ditempuh manusia untuk dapat terlepas dari karma dan bisa mencapai
Nibbana.
1.
Hubungan Antara Budi dan Zat Dalam Jasad
Ajaran yang
pertama adalah mengajarkan tentang Hubungan antara Budi dan Zat dalam tubuh
manusia, yang mana dalam penjelasannya menggunnakan istilah-istilah yang
khusus. Salah satunya adalah kata shikiho yang berarti semua zat atau
semua fenomena fisik. Yang kedua adalah kata shimpo yang berarti kerja
pikiran atau cara berpikir. Yang ketiga adalah funi yang menrangkan
bahwa kedua hal diatas tidak dapat terpisahkan. Yang keempat adalah shikishin
bermakna gabungan dari bagian-bagian pertama shiki-ho dan shim-po
funi, dengan kata lain teori tersebut bermaksud untuk menjelaskan adanya
keutuhan dari budi dan zat. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa gagasan umum
dari teori ini adalah “jiwa itu ada dan meresapi segala sesuatu”. Dalam artian
lain, bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki jiwa.
2.
Hubungan
Antara Lingkungan dan Jasad
Dalam teori
yang kedua ini, Nichiren mengajarkan tentang Soho (sesuatu yang pokok,
subyek, atau jasad) dan Eho (obyek atau lingkungan). Ia mengajarkan
bahwa Soho dan Eho adlah dua bagian tapi sekaligus juga merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Karena Soho bukanlah “soho” jika tak
ada Eho, begitupun sebaliknya.
Jika Soho
adalah badan, maka Eho adalah bayangannya. Jika Soho adalah
organisme, maka Eho adalah lingkungannya. Begitu juga dengan manusia da
alam. Dengan teori ini, Nichiren mengajarkan bahwa manusia haruslah menjalani
hidupnya dengan menyelaraskan diri dengan alam, jangan malah merusak
lingkungan. karena keduanya adalah satu, dan yang satu itu adalah keduanya.
3.
Roh
Semesta
Dalam pembagian
jenis makhluk, Nichiren tetap mengikuti pendapat umum agama Buddha, yakni
membagi segala sesuatu di alam semesta ke dalam ujo (wujud yang memiliki
rasa/kesadaran) dan hijo atau bentuk tanpa rasa/kesadaran. Di teorinya
yang ketiga ini, Nichiren mengajarkan bahwa roh semesta meresapi segala sesuatu
yang ada di dalamnya.
Ujo dapat
mengandung hijo; makhluk-makhluk perasa yang mengandung unsure-unsur
tanpa rasa. Dan hijo juga dapat menampilkan sifat perasa, meskipun
emosi-emosi dan kesadarannya masih tertidur. Apabila diberi syarat yang tepat,
makhluk-makhluq tanpa rasa dapat berkembang menjadi perasa. Karena wujud hayati
(kehidupan) dan nirhayati (tanpa kehidupan) adalah wujud sementara.
Kesadaran
seorang Buddhist akan peresapan roh semesta pada semua perwujudan baik yang
perasa maupun tanpa rasa, akan menuntunnya menuju kesadaran akan kehidupan yang
kekal.
4.
Cara Melihat Dunia
Niciren juga
mengurai tentang tiga macam cara yang haru dicapai kesadaran manusia dalam
memandang dunia :
·
Pengamatan akan bentuk-bentuk sementara atau
fenomena material (ketai).
·
Pengamatan akan kehampaan atau fenomena
spiritual (kutai).
·
Pngamatan akan sifat hakiki benda-benda atau
fenomena esensial (chutai), yang menampakkan dirinya dalam kedua bentuk
lainnya.
Teori ini
dikenal dengan nama teori en’yu-no-Santai. kata Ku dari Kutai
adalah padanan (sinonim) dari katata Sunyata (sanskrit) yang berarti
kebenaran. Dalam artian, kata Ku memiliki makna “dunia kebenaran yang
mutlak”, takterbatas oleh ke-relatif-an dan melampaui pandangan tentang konsep
serta semua gagasan tentang eksistensi dan non-esksistensi.
Masing-masing
dari ketiga cara diatas mengandung kedua cara lainnya. Istilah en’yu-no-santai
(jenis-jenis pengamatan yang saling mengisi dan melengkapi) secara ringkas
menyatakan maksud kesatuannya. Awalnya teori ini dicetuskan oleh Bikkhu Chih-I
(538-597), pendiri aliran T’ien T’ai (jepang. Tendai).
5.
Ichinen-Sanzen
Secara harfiah
kata Ichinen berarti mikrokosmos. Kata Sanzen dapat menunjang
kepada banyak aspek yang berlainan, tapi arti yang dimaksudkan disini adalah
totalitas dari semua fenomena atau makrokosmos.
Teori ini juga
berasal dari sekte Tendai yang diadopsi dan dikembangk-an oleh Nichiren
Daishonin beberapa dekade kemudian. Teori ini membahas tentang gagasan “tiga
ribu gagasan dalam satu saat tunggal”. Yaitu gagasan tentang terdapatnya 10
alam ekstensi yang harus dilalui oleh semua mahkluk hidup di setiap masa
keidupannya.
kesepuluh alam
tersebut, antara satu dengan lainnya memiliki keterkaitan. Masing-masing
mengandung hakikat dirinya dan 9 alam yang lain. Terdapat 10 faktor pokok yang
memberi cirri kepada setiap makhluk. Dan setiap makhluk dapat berhubungan
dengan 3 lingkungan. Ketika dikalikan jumlah keseluruhannya (10x(1+9)x10x3)
menjadi 3000. Jadi di dunia ini terdapat 3000 alam ekstensi. Dari perhitungan
itulah tercetus teori tentng “3000 gagasan”.
Istilah Ichinen-Sanzen
berarti “jiwa semesta yang terdapat dalam satu saat pikiran tunggal (ichinen)
yang mengandung semua alam yang mungkin keberadaannya dalam eksistensi (sanzen)”.
Jadi menurut teori ini, segala sesuatu dalam alam semesta saling berkaitan;
mikrokosmos memenuhi makrokosmos, dan makrokosmos tersirat dalam setiap
mikrokosmos.
Adapun sepuluh
alam kehidupan yang disebutkan diatas adalah :
1.
Jigoku-kai (neraka; alam derita),
2.
Gai-kai (kelobaan; alam yang menguasai manusia
dengan sifat serakah),
3.
Chikusho-kai (kebinatangan; alam yang
menyebabkan manusia dikuasai oleh sifat-sifat binatangnya),
4.
Shura (keberangan; alam yang menguasai manusia
dengan sifat persaingan),
5.
Nin-kai (kemanusiaan dan keterntraman; keadaan
biasa dari hidup),
6.
Ten-kai (surga atau suka cita; alam
kebahagiaan),
7.
Shomon-kai (kesarjanaan; alam orang yang
merasakan kebahagiaan keilmuan),
8.
Engaku-kai (penciptaan; alam kejiwaan, dimana
orang menghargai kesenangan penciptaan),
9.
Bosatsu-kai (bodhisattva; alam yang
menginginkan kebahagiaan bagi orang lain),
10.
Buk-kai (cita Buddha; alam ke-Buddha-an).
Adapun sepuluh
factor yang member ciri kepada segala sesuatu si dunia adalah :
·
Factor jasmaniah;
1.
Nyoze-so (bentuk),
2.
Nyoze-sho (naluri),
3.
Nyoze-tai (wujud),
·
Factor keberlangsungan hidup;
4.
Nyoze-riki (daya),
5.
Nyoze-sa (kegiatan),
6.
Nyoze-in (faktor dari dalam),
7.
Nyoze-en (factor dari luar),
8.
Nyoze-ka (efek terpendam; efek yang bersifat
potensial),
9.
Nyoze-ho (efek nyata/tampak),
10.
Nyoze-honmatsu-kukyoto (perpaduan dari Sembilan
factor lain)
Sedangkan tiga
dunia (san-ken) adalah :
1.
Go-on Seken (dunia kesatuan; lingkungan panca
skandha),
2.
Shujo Seken (dunia dari makhluk hidup),
3.
Kokudo Seken (dunia dari lingkungan).
III.
Hari Besar
Sebagaimana
halnya pada agama, dalam sekte Nichiren juga terdapat hari-hari khusus yang diperingati
oleh umatnya. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
§ Hari Moksanya
Sang Buddha Sakyamuni 15 Pebruari Setelah 45 tahun membabarkan Dharma,
Buddha Sakyamuni memasuki Nirvana, ketenangan yang sempurna, pada usia 80 tahun
di Kusinagara
§ Hari Lahirnya
Nichiren Shonin’s 16 Februari Nichiren Shonin lahir pada tanggal 16 pebruari
1222 di Kota Kominato, Chiba – Jepang
§ Hari Lahirnya
Buddha Sakyamuni 8 April Sakyamuni Buddha lahir di Taman Lumbini,
pada tanggal 8 April 565 SM, sebagai seorang pangeran dari Suku Sakya
§ Pernyataan
Pendirian Hukum Agung Nichiren 28 April Nichiren Shonin mengumunkan tentang
pendirian hati kepercayaanya kepada Saddharma Pundarika Sutra di Kuil Seichoji
di kota kelahirannya, Kominato pada tanggal 28 April 1253.
§ Pengasingan Ke
Semenanjung Izu, 12 Mei Pada tahun 1260, Nichiren Shonin setelah
menyampaikan hasil tulisan dengan judul “Rissho Ankoku Ron” dan menyampaikan
kepada pemerintah akan kepercayaan yang salah. Pada tanggal 12 mei 1261,
Nichiren memasuki pengasingannya di Semenanjung Izu karena penyampaian
tulisannya itu.
§ Penganiayaan
Matsubagayatsu 27Agustus Penyampaian tulisan Nichiren yang
berjudul Rissho Ankoku Ron telah menyebabkan banyak pihak yang tidak suka
dengan Nichiren, melakukan penyerangan terhadapNya dan membakar tempat
tinggalnya di Matsubagayatsu pada tanggal 27 Agustus 1260
§ Penganiayaan
Tatsunokuchi 12 September Pada tahun 1271, pemerintah yang tidak
menyukai penyebaran ajaran Nichiren dan menangkap Beliau dan membuangnya ke
Pulau Sado. Pada tanggal 12 September dalam perjalanan ke Pulau Sado, Nichiren
ingin dibunuh di Tatsunokuchi, tetapi Beliau selamat karena adanya cahaya
misterius dari angkasa.
§ Pengasingan ke
Pulau Sado 10 Oktober Setelah gagalnya rencana pembunuhan di
Tatsunokuchi, Nichiren diasingkan ke Pulau Sado pada tanggal 10 Oktober 1271,
Beliau tinggal disana selama 3 tahun.
§ Upacara
Oeshiki, 13 Oktober Dalam perjalanan dari Gunung Minobu ke
permandian air panas Hitachi atas penyakitnya, Nichiren Shonin mengakhiri
hidupnya selama 60 tahun di kediaman Ikegami Bersaudara,Tokyo pada tanggal 13
Oktober 1282
§ Penganiayaan
Komatsubara 11 Nopember Nichiren Shonin dan para muridnya
diserang oleh pasukan penguasa Kagenobu Tojo dan para sekutunya dalam
perjalanan di tengah hutan Komatsubara dalam wilayah Tojo’s pada tanggal 11
Nopember 1264. Nichiren Shonin mendapatkan luka di kepalanya dan seorang
muridnya terbunuh.
IV.
Karya-karya Nichiren Daishonin
Selama
hidupnya, Nichiren Daishonin telah menghasilkan banyak Karya, diantaranya
adalah :
1.
Kanjin-no-Honzon; berisi tentang terori Ichinen-Senzen
yang dikembang-kan oleh Nichiren Daishonin. Dia menulis buku ini dalam usia 50
tahun (1217) saat diasingkan ke pulau sado.
2.
Hokke-Shukyu-Sho; sebuah risalah yang
menerangkan tentang “tiga hokum rahasia besar”. Karya ini diselesaikan di
gunung minobu.
3.
Rissho Ankokuron; berisii tentang keamanan
Negara berdasarkan ajaran Buddha yang sejati. Karya ini dibuat dengan mengutip
3 buah sutra; Yakushi-kyo, Daishitsu-kyo dan Konkomyo-kyo. Karya ini selesai
dikodifikasi pada 16 Juli 1260 di kuil Jisso-ji.
4.
Ho on Syo; karya sastra yang berisi tentang ajaran
balas budi (ditujukan kepada gurunya yang dihormati, Bikkhu Dozenbo).
Adapun
karya-karya lainnya berbentuk Gosyo (surat). Kebanyakan dari Gosyo tersebut
berisi tentang kritik dan nasehat yang ditujukan dan diserahkan kepada para
pembesar pada masa itu.
C.
NICHIREN SHU DI INDONESIA
Nichiren Shoshu mulai berkembang
luas di Jepang, setelah Perang Dunia II di bawah pendudukan tentara Amerika,
yang membebaskan kehidupan beragama. Para penganut membentuk organisasi bernama
Sokagakai dan kemudian menjadi wadah dan motor penggerak penyiaran sekte ini.
Shintaro Noda, pegawai Nissho Iwai,
sejak tahun 1920-an telah menetap di Indonesia, sempat menjadi tawanan tentara
sekutu di Jawa dan Australia, dan karena itu menderita berbagai penyakit,
akhirnya dipulangkan tentara sekutu ke Jepang. Di Jepang beliau bergabung
dengan Sokagakkai dan menganut Nichiren Shoshu berhasil sembuh dari penyakit.
Pada akhir tahun 1940 akhir Shintaro
Noda kembali bertugas di Indonesia sekaligus menyebarka dan menjadi pimpinan
Nichiren Shoshu di Indonesia sampai awal tahun 1970-an dan secara organisatoris
berafiliasi kepada Sokagakkai yang ada di jepang dan kemudian hari membentuk
Sokagakkai internasional. Namun pada tahun 1967 didirikanlah yayasan Nichiren
Shoshu Indonesia (NSI), yang sebenarnya dipimpin oleh seorang non Nichiren,
melainkan saudara sepupu dari seorang penganut Nichiren. Kondisi ini akhirnya
menimbulkan kekacauan kepemimpinan karena pimpinan de facto Shintaro Noda yang
berkewarganegara-an Jepang tidak dapat menjadi pemimpin secara formal. Akhirnya
pada awal tahun 1970-an Shintaro Noda disingkirkan dari kepemimpinan, dan
munculah pimpinan baru, Senosoenoto, suami dari Keiko Sakurai seorang anggota
sokagakkai.
Di kemudian hari Senosoenoto berhasil mengajak kawannya, Soekarno-seorang mantan menteri pada masa Orde Lama-menjadi penganut dan kemudian menjadi salah satu pucuk pimpinan NSI. Soekarno sangat aktif dalam organisasi agama buddha di Indonesia, ia juga mewakili NSI dalam mendirikan organisasi WALUBI. Soekarno wafat pada tahun 1981.
Di kemudian hari Senosoenoto berhasil mengajak kawannya, Soekarno-seorang mantan menteri pada masa Orde Lama-menjadi penganut dan kemudian menjadi salah satu pucuk pimpinan NSI. Soekarno sangat aktif dalam organisasi agama buddha di Indonesia, ia juga mewakili NSI dalam mendirikan organisasi WALUBI. Soekarno wafat pada tahun 1981.
Sejak akhir tahun 1970 sampai
pertengahan tahun 1980, NSI berkembang dan mencapai puncak kejayaannya.
Sebagaimana umumnya pekembangan organisasi, bilamana telah berkembang pesat,
maka pada tahap-tahap tertentu muncul masalah rule of the game
(aturan main), management asset&financial, dan mekanisme
pertanggungjawabab kepemimpinan organisasi. Akhirnya Tahun 1986 muncul usulan
dan tuntutan untuk membuat AD dan ART NSI, yang memang belum ada. Draf AD ART
disusun dan dibuat oleh 9 orang atas permintaan Senosoenoto, yang dikemudian
hari dikenal sebagai kelompok 9.
Inisiatif kelompok sembilan ini
tidak terakomodasi, mereka disingkirkan, AD ART NSI tak kunjung terwujud,
mereka lalu membuat Yayasan Visistakaritra pada tgl 16 Februari 1987. yang
secara subyektif berorientasi pada Sangha Nichiren Shoshu.
NSI sendiri sepeninggalan almarhum
Senosoenoto, terpecah 2 karena adanya perbedaan pandangan mengenai siapa yang
akan menjadi ketua umum berikutnya, antara kubu pendukung wakil ketua umum
Johan Nataprawira dan kubu wakil ketua umum Keiko Senosoenoto. Dalam suatu
muktamar akhirnya terpilihlah Suhadi Sendjaja dari kubu Johan Nataprawira.
Namun keberadaan ini ditentang oleh Sangha Nichiren Shoshu. Akibatnya Suhandi
Senjaya dikeluarkan dari Nichiren Shoshu dan organisasi NSI tidak diakui
sebagai ormas penganut Nichiren Shoshu di Indonesia.
Kubu Keiko Senosoenoto mendirikan yayasan
Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (BDI), dan mengangkat anak perempuaannya,
Aiko Senosoenoto sebagai ketua umum sampai sekarang ini. BDI-sekitar tahun
2000-bersama Sangha Nichiren Shoshu membentuk Yayasan Pendidikan Sangha
Nichiren Shoshu Indonesia yang diketuai oleh mantunya Keiko Senosoenoto dan Rusdy
Rukmarata, suaminya Aiko Senosoenoto.Yayasan Sangha ini "memiliki"
memiliki dua buah kuil, Myogan-ji terletak di Megamendung dan Hosei-ji teletak
di Jakarta. Kedua Kuil tersebut dipimpin Kepala Kuil Bhikku dari Kuil Pusat
Taiseki-ji Jepang.
Pada tahun 1992 terjadi pertikaian
antara Sangha Nichiren Shoshu (di Jepang) dengan Sokagakkai (Sokagakkai
internasional) dan berakibat Sokagakkai membentuk sekte tersendiri dan diberi
nama Nichiren Sekai Shu. Kejadian ini juga berimbas ke Indonesia, sebagian umat
Nichiren Shoshu yang ada membentuk kelompok baru bernama Sokagakkai Indonesia
yang berpusat di Kemayoran Jakarta, dan menjadi penganut sekte Nichiren Sekai
Shu, yang tentu saja didukung oleh Sokagakkai internasional.
Berikut adalah peta perkembangan
sekte Nichiren[11] :
Berawala dari Nichiren Daishonin
(tanda + menunjukkan sebagai pemilik garis
keturunan[murid utama/langsung dari Niciren Shonin], tanda | menunjukkan
generasi pertama [murid dari murid utama], tanda || menunjukkan generasi ke dua
[murid dari generasi pertama], dan begitu seterusnya, tanda ---------
menunjukkan asal/dasar alirannya)
+Nissho (Sekte Nissho) —————–[Nichiren Shu]
(Pendiri Kuil: Hamada, Myohokeji; Murata, Myohoji)
| + Nichiyu (Garis Keturunan Hamada)
——–[Nichiren Shu] (Hamada, Myohokeji)
| + Nissei (Garis Keturunan Murata )———-
[Nichiren Shu] (Murata, Myohoji)
+ Nichiro (Sekte Nichiro) —————[Nichiren Shu]
(Pendiri Kuil: Hikigayatsu, Myohonji; Ikegami, Honmonji)
| + Nichizo (Sekte Shijo) ——–[Nichiren Shu]
(Pendiri Kuil: Kyoto, Myokenji)
| | + Nichijitsu —————–[Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil: Kyoto, Myokakuji)
| | | + Nichien ———–[Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil: Kyoto, Honkakuji)
| | | | + Nichi’o ( Sekte Fujufuse )
| | | | | + Nichiju (Garis Keturunan
Myokakuji)———[Nichiren Shu Fuju Fuse-ha] (Okayama, Myokakuji)
| | | | | + Nisshu (Garis Keturunan Honkakuji)
———- [Nichiren Komonshu] (Okayama, Honkakuji)
| | | + Nissei
| | | | + Getsumei
| | | | | + Nisshin (Sekte Honryuji) ——————-
[Garis Keturunan Hokkeshu Shinmon-] (Pendiri Kuil: Kyoto, Honryuji)
| | | | | + Nichijitsu [Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil : Kyoto, Ryuhonji)
| | | | + Nikkei
| | | | | + Nichi’o —————————————- [Honmon
Hokkeshu] (Pendiri Kuil: Kyoto, Myorenji)
| | | | + Nichiryu (Nichiryu Garis Keturunan,
Sekte Happon) ———- [Hokkeshu Honmon-ryu] (Pendiri Kuil: Kyoto, Honnoji)
| | | | | + Nissen (Garis Keturunan Nissen)
———————– [Honmon Butsuryu-shu] (Pendiri Kuil: Kyoto, Yuseiji)
| + Nichirin (Garis Keturunan Ryozan)
| + Nichizen
| + Nichiden (Garis Keturunan Hondoji) ———-
[Nichiren Shu] (Hiraga, Hondoji)
| + Nippan ——————————-[Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil: Fukuchiyama, Joshoji)
| + Nichi’in —————————— [Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil: Echigo, Honseiji; Kyoto, Honkokuji)
| | + Nissei (Sekte Rokujo, Garis Keturunan
Honkokuji) [Nichiren Shu] (Kyoto, Honkokuji)
| | | + Nichijaku [Nichiren Shu] (Kamakura,
Myohoji)
| | | + Nichiden
| | | | + Nisshu —— [Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil: Honmanji)
| | | | + Nicho ——– [Nichiren Shu] (Nirayama,
Honryuji)
| | | + Nitchin (Pendiri Kuil: Kyoto, Honzenji)
| | | | + Nichizon (Garis Keturunan Honseiji)
—–[Hokkeshu Jinmon-ryu]
| | | | + Nitto (Garis Keturunan Honzenji) —–[
Garis Keturunan Hokkeshu Jinmon]
| + Nichigyo —————————– [Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil: Kyoto, Daimyoji)
| + Rokei ——————————– [Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil: Nakanobu, Horenji)
+ Nikko (Nikko, Sekte Fuji) (Pendiri Kuil:
Fuji, Taiseikiji, Omosu, Honmonji)
| + Nichimoku (Garis Keturunan Taisekiji)
| | + Nichido ——————————— [Nichiren Shoshu]
(Fuji, Taisekiji)
| | + Nichigo [Nichiren Shu] (Pendiri Kuil:
Hota, Myohonji; Koizumi, Kuonji);
(Hota, Myohonji) —————– [Independent temple]
(Koizumi, Kuonji) —————- [Nichiren Shu]
| | | + Nichijaku (Pendiri Kuil: Niko, Josenji)
| + Nikke ————————————-[Nichiren Honshu]
(Pendiri Kuil: Sanuki, Honmonji; Kyoto Shimojo, Myorenji)
| + Nichizon (Garis Keturunan Nichizon)
—————[Nichiren Honshu] (Pendiri Kuil: Aizu, Jitsujoji; Kyoto, Jogyoin)
| | + Nisshin (Pendiri Kuil: Kyoto, Yoboji)
————- [Nichiren Honshu] (Kyoto, Yoboji)
| + Nichidai (Nishiyama, Honmonji) ————[Honmon
Shoshu]
| + Nichimyo ———————————-[Nichiren Shu] (Omosu,
Honmonji)
| + Nitto —————————————[Nichiren Shu]
(Scholastic Adminsitrator of the Omosu Seminary, Honmonji)
| + Nichiman ———————————-[Nichiren Shu] (Pulau
Sado, Abutsu, Myosenji)
+Niko (Minobu, Sekte Mobara) (Pendiri Kuil:
Mobara, Myokoji)
| + Nisshin (Sekte Minobu)
| | +Nichide —————————-[Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil: Mishima, Honkakuji; Kamakura, Honkakuji)
| | | + Nichi’i ——————-[Nichiren Shu] (Pendiri
Kuil: Kyoto, Myodenji)
| + Nisshu (Sekte Mobara)
+ Nitcho —————————————–[Nichiren
Shu] (meninggalkan Mama, Guhoji masuk ke Seminari Omosu)
+ Nichiji (Garis
Keturunan Matsuno) ———————[Nichiren Shu] (Matsuno, Ren’eiji)
+ Nichijo (Toki Jonin)
(Sekte Nakayama) ——-[Nichiren Shu] (Pendiri Kuil: Jakunomiya, Hokkeji; Nakayama,
Honmyoji)
| + Nisshin [Nichiren
Shu] (Kyoto, Honpoji)
| + Nichiju (Nichiju
Sekte) ———————-[Kempon Hokkeshu] (Pendiri Kuil: Kyoto, Myomanji)
+ Nippo
——————————————[Nichiren Shu] (Pendiri Kuil: Okamiya, Kochoji; Kyusoku,
Ryushoji)
+ Nichii ——————————————[Nichiren
Shu] (Pendiri Kuil: Ikeda, Honkakuji)
+ Nichigen
————————————— [Nichiren Shu] (Pendiri Kuil: Soshigaya, Homyoji; Himonya,
Hokkeji)
+ Nichiben
—————————————[Nichiren Shu] (Pendiri Kuil: Jusu, Jusanji; Mine, Homyokoji)
+ Tenmoku
—————————————[Nichiren Shu] (Pendiri Kuil: Shimoya Sano, Myokenji; Shinagawa,
Honkoji)
+ Nissei
——————————————-[Nichiren Shu] (Pendiri Kuil: Sado, Myoshoji)
+ Nikke
——————————————-[Nichiren Shu] (Pendiri Kuil: Kominato, Tanjoji)
+ Nippo —————————————— [Nichiren Shu] (Pendiri Kuil: Kazusa,
Myokakuji
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan yang
kami dapatkan setelah mempelajari materi-materi tentang Nichiren Shoshu dan
menyusun makalah ini adalah sebuah gambaran (concept) tentang sekte yang
didirikan oleh Nichiren Daishonin beberapa abad yang lalu. Bahwa Nichiren
Daishoni mendirikan sekte ini dengan tujuan mengingkari dan memperbaharui semua
sekte yang ada. Karena menurunya semua sekte tersebut telah menyimpang dari
ajaran-ajaran yang diturunkan oleh Buddha Sakyamuni.
Secara
esensial, Sebenarnya aliran ini sama dengan sekte-sekte lain, yakni didirikan dengan tujuan baik. Sekte-sekte tersebut didirikan oleh pendirinya
untuk mempeerbaharui dan meperbaiki tatanan masyarakat yang dinggap telah
keluar dari garis-garis kebenaran yang telah ditetapkan oleh tuhan.
Jika ditinjau
dari segi pendirinya, maka semua sekte tersebut, bahkan agama sekalipun akan
menjadi sesuatu yang sangant subjektif dan dipenuhi dengan gagasan-gagasan yang
bersifat konseptual. Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli, agama
adalah sesuatu yang dogmatif, normative dan tidak bisa dipertentangkan dengan
akal atau rasio. Karena yang dibahas didalamnya adalah sesuatu keberadaan yang
“maha” diluar nalar. Jadi, cara menkajinya adalah dengan akal yang didasari
keyakinan.
Terakhir
kalinya, kami selaku penyusun makalah ini memohon maaf sebesarnya jika ada
kekurangan atau kesalahan dalam makalah yang kami susun ini. Kami harap masukan
dakn koreksinya, sebagai referensi bagi kami kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Suwarto;
“Buddha Dharma Mahayana”, Palembang : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia,
Cetakan Pertama, 1995.
2.
Djam’annuri, agama jepang , PT Bagus Arafah. Yogyakarta 1981.
3.
Romdhon,
dkk., “ Agama-agama Di Dunia”, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga
Press, cetakan pertama1988.
4.
Dr.M.Ghallab, “Filsafat Timur”,
Penerbit Saeful, Medan, 1950.
5.
Alisoro,
Eko, “Faham Niciren Syosyu dalam Yayasan Sabdha Pandhita Buddha Dharma
Indonesia”, Penelitian, diunduh dari : google.com.
10.
Mempelajari Sejarah Agama Buddha & Aspek
Mistiknya dan Perkembangannya Di Indonesia, diunduh dari :
sarapanpagi.org
13.
Tarabini,
Shoryo, “Perbedaan dan Persamaan antara Nichiren Shu, Nichiren Shoshu dan
Soka Gakkai, diunduh dari : nshi.org.
21.
nichiren.info/gosho.html,
nst.org/articles.html, vincentspirit.blogspot.com,
id.wikipedia.org/wiki/Gohonzon.
[1] Eko Alisoro, Faham Niciren Syosyu dalam Yayasan Sabdha Pandhita Buddha Dharma
Indonesia, proyek penelitian keagamaan, hal. 01.
[2] Drs. Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, diterbikan oleh :
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, Palembang 1995, hal. 520.
[3] Nichiren Shoshu, id.wikipedia.org/wiki/Nichiren_Shoshu.
[4] ibid
[5] Riwayat Hidup Nichiren Daysyonin; chandranio.blogspot.com/2011/03/blog-post.html
[6] Nichiren, Birth, education, initial teaching; en.wikipedia.org/wiki/Nichiren
[7] Riwayat Hidup Nichiren Shonin, nshi.org/?p=78
[8] Drs. Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, diterbitkan oleh :
MABMI; Palembang 1995.
[9] Y.M.Bikkhu Shoka Kanai, nshi.org/materi/Tiga%20Hukum%20Rahasia%20Agung.pdf.
[10] Drs. Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, diterbitkan oleh
MABMI, Palembang 1995; hal. 522
[11] Aliran Nichiren Shu, diunduh dari http://www.nshi.org/?p=174.
HERAN DULU BERSATU................BESAR BERANTEM.................FROM KONGLIM BOISE IDAHO USA
BalasHapus