Minggu, 21 September 2014

Berbicara Madura

“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan
dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri
sebagai suatu bangsa yang merdeka.” (Pidato
HUT Poklamasi Bung Karno 1963)
Dari pernyataan di atas kita dapat menarik
sebuah pesan moral yang ingin disampaikan oleh
Bung Karno bahwa kepercayaan diri itu sangat
penting peranan dan pengaruhnya terhadap
eksistensi sebuah bangsa. Sebuah kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri, kita (bangsa Indonesia)
bisa meraih status merdeka dan mampu
melepaskan diri dari genggaman kolonialisme
adalah berkat sebuah modal awal yang bernama
Nasionalisme. Begitu pula dengan bangsa lain di
seluruh belahan bumi ini, mereka tidak akan bisa
menjadi bangsa yang merdeka sebelum memiliki
sebuah kesadaran kebangsaan. Sejalan dengan
pernyataan di atas ialah pernyataan Y. A. Pilliang
bahwa sebuah bangsa hanya bisa eksis bila
orang-orang di dalamnya memiliki imajinasi
kelompok tentang diri mereka sebagai sebuah
bangsa.

Berbicara tentang kebangsaan dan nasionalisme,
maka mau tidak mau kita juga harus berbicara
tentang regionalisme dan kesukuan, yang mana
jika diibaratkan terhadap sebuah bangunan maka
kesukuan merupakan fondasi yang menjadi dasar
berdirinya sebuah bangsa, khususnya Indonesia.
Menurut data BPS tahun 2010, terdapat 1.340
suku bangsa yang ada di Indonesia. Dari sekian
banyak suku yang ada, Madura merupakan salah
satu etnik terbesar ke-4 setelah Jawa, Sunda dan
Melayu serta bahasanya menjadi salah satu
bahasa daerah yang paling banyak digunakan di
indonesia, dengan jumlah penutur sekitar 20 juta
jiwa.
Sebagaimana etnik besar lainnya,-selain
mendiami daerah tapal kuda-saat ini suku madura
telah menyebar ke seluruh nusantara, bahkan ke
bangsa negara seperti malaisya, timur tengah
dan sebagainya. sehingga bisa dikatakan tidak
ada satupun kota di indonesia yang di dalamnya
tidak terdapat orang madura, khususnya di kota-
kota besar seperti jakarta, surabaya, bandung
dan sebagainya. Dengan populasi yang begitu
besar dan menyebar di seluruh nusantara, maka
pernyataan bahwa suku madura memiliki peluang
yang sangat besar untuk “masuk” dan turut
“bermain” dalam semua sektor adalah pernyataan
yang sangat logis, jika tidak boleh dikatakan
sebagai suatu keadaan yang niscaya. Namun
pada kenyataannya, hingga saat ini putera madura
yang “terlihat” di kancah nasional masih dalam
hitungan jari. Alih-alih mendominasi di tiga pilar
bangsa-Pendidik, Pengusaha dan Pemirintah-, di
daerah asalnya, kepulauan Madura, angka
kemiskinan dan kebodohan masih sangat tinggi.
Bila kita mau membuka mata dan telinga,
kepulauan madura bukan hanya sebatas “pulau
garam” seperti yang selama ini dikenal oleh
banyak orang, melainkan kepulauan yang memiliki
potensi sumber daya alam sangat besar, baik
migas, panas bumi dan-diduga mengandung-
emas dan uranium. Bahkan lebih dari 60%
kebutuhan LNG di Jawa Timur disuplai dari
kepulauan Madura. Meminjam bahasa Syarifudin,
penasehat FKMLJ, Madura itu bisa dikatakan
“duduk” di atas ladang minyak dan gas. Dengan
kata lain, di bawah kepulauan madura terhampar
ladang migas yang jumlahnya mencapai miliaran
kubik. Hal inilah yang menjadikan Madura itu
beriklim panas, gersang dan sulit dijadikan lahan
pertanian.
Jika kita berpikir menngunakan logika ekonomi,
maka secara dejure kekayaan berbanding lurus
dengan kesejahteraan. Namun, secara defacto
angka kebodohan dan kemiskina-yang notabene
menjadi indikator kesejahteraan- masih sangat
tingi di kalangan masyarakat madura. Sampai
saat ini, sebagian besar masyarakat madura
menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan
nelayan dengan teknik dan peralatan tradisional.
Tentunya keeadaan tersebut, sangatlah
menyulitkan mereka untuk berkembang dan
menjadi masyarakat yang maju. Bahkan, jika
keadaan tersebut terus berlanjut serta tidak ada
usaha atau gerakan perbaikan, maka masyarakat
madura selamanya akan “stag” pada kondisi
dimana angka kebodohan dan kemiskinan masih
sangat tinggi serta semakin jauh dari predikat
sejahtera, dan pada akhirnya tergilas oleh “roda”
globalisasi. Maka tidak heran jika banyak putera
madura yang merantau ke daerah lain atau
bahkan ke manca negara, demi memperbaiki
taraf kehidupannya. Memang ironis, tapi itulah
kenyataannya. Masyarakat madura bagaikan
“tikus yang kelaparan di tengah lumbung padi”
atau “ikan yang kehausan di tengah lautan”.
Ada dua hal yang menjadi first cause atau faktor
utama penyebabnya. Pertama, lemahnya kontrol
pemerintah-baik pusat ataupun daerah- dalam
menyusun, mengawasi dan menjalankan regulasi
yang berkaitan dengan eksplorasi sumber daya
alam. Sehingga memberikan celah bagi para
“pemain” untuk mengekplorasi Sumber Daya
Alam Madura secara besar-besaran tanpa
memberikan kompensasi Dana Bagi Hasil (DBH)
yang sesuai dan transparan. Kedua, minimnya
SDM (Sumber Daya Manusia) yang-merupakan
putera asli madura dan- menguasai teknik
pertambangan dan metalurgi sehingga mampu
mengelola kekayaan alam yang di madura tanpa
perlu bergantung kepada pihak asing. Du faktor
itulah yang menjadi penyebab utama masyarakat
madura tidak bisa merasakan hasil dari ekplorasi
dan pengolahan kekayaan alam madura yang
telah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu.
Sedangkan yang diuntungkan adalah pihak
pengelola yang didominasi oleh asing, dan
oknum-oknum pemerintah yang tidak
bertanggung jawab. Begitu besarnya pengaruh
dan kekuasan mereka. Sehingga, semua usaha
perlawanan yang selama ini dilakukan, tidak
berhasil dan kandas di tengah jalan. Maka,
diperlukan usaha lain yang terorganisir dan
terstruktur dengan baik serta massif, yakni
dilakukan oleh semua pihak, khususnya dari
kalangan pemuda dan mahasiswa yang
merupakan ujung tombak perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar