Rabu, 16 November 2011

METODE PENDEKATAN ANTROPOLOGI dalam STUDI ILMU PERBANDINGAN AGAMA

*Oleh : Izzat Mohammad Ghozali


I.            PENDAHULUAN
Telah diceritakan di dalam setiap kitab suci agama-agama wahyu terbesar di dunia (agama-agama keluarga ibrahim), bahwa manusia yang diciptakan pertama kali (adam), telah beragama dan berkeyakinan. Namun, bagi para penganut ateisme, data-data tersebut tidak dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Walaupun Pada kenyataannya, Agama telah ada pada semua lapisan masyarakat dan seluruh tingkat kebudayaan sejak awal permulaan sejarah umat manusia yang tercatat dalam sejarah.
Namun, dengan tidak adanya catatan sejarah yang valid tentang siapakah manusia atau kelompok masyarakat pertama yang ada di muka bumi, menyebabkan kebingungan dan perbedaan persepsi di antara para ahli tentang awal-mula agama, apakah benar
manusia pertama (dalam bentuk yang telah sempurna) telah beragama, atau malah sama sekali tidak berkeyakinan. Sehingga muncullah berbagai macam spekulasi tanpa dasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya. Hal ini mendorong para ahli untuk menyusun cara-cara, metode-metode serta teori untuk dapat menyelidiki permasalahan tersebut. Sehingga dapat ditemukan titik temu antara kedua kelompok tersebut.
II.            PEMBAHASAN
Agama sudah terdapat pada semua lapisan masyarakat dan seluruh tingkat peradapan dan kebudayaan sejak awal permulaan sejarah umat manusia[1]. Namun, pada kenyataannya, tidak pernah ditemukan data valid yang dapat membuktikan bahwa peradaban tertua yang terdapat di dalam catatan sejarah adalah benar-benar merupakan peradaban tertua di muka bumi ini. Kenyataan tersebut, menyebabkan tumbulnya banyak keraguan serta spekulasi-spekulasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Hesiod dalam tulisannya Theogony, telah melakukan usaha pertama untuk meng-himpun cerita-cerita dan kisah-kisah tentang dewa-dewa yunani dalam satu kesatuan yang tetap. Kemudian Herodotus (484-425 S.M.) menyatakan bahwa semua manusia sama mengetahui tentang hal-hal ketuhanan. merangsang para ahli untuk menyelidiki dan mempelajari. Namun kedua tokoh ini tidak dianggap sebagai tokoh yang kritis terhadap agama[2].
Keadaan dimana banyak spekulasi tentang bagaimana, kapan dan mengapa timbul agama, sebenarnya baru muncul pada masa seratus tahun belakangan ini. Lebih tepatnya setelah teori evolusi muncul di abad ke-19 dan berkembangnya ilmu kritik sejarah. Hal mana membuat orang kembali mempertimbangkan tentang evolusi agama dan menyusun berbagai spekulasi tentang asal-usul agama. Kenyataan tersebut pada akhirnya merangsang timbulnya minat para ahli untuk menyelidiki, meneliti dan mempelajari secara bersunggu-sungguh tentang asal-usul agama, yang akhirnya muncullah sebuah metode tentang cara-cara mempelajari agama-agama yang dinamakan ilmu perbandingan agama. Salah satu metode yang digunakan adalah metode Pendekatan Antropologis.
Pendekatan Antropologis adalah sebuah metode dalam ilmu perbadingan agama yang digunakan dalam mempelajari hubungan antara agama dan masyarakat. Sebagaimana halnya dengan metode pendekatan sosiologis. Namun, objek penyelidikan metode antropo-logis lebih condong pada masayarakat primitif dan agama/keyakinan yang dianutnya. Lebih jelasnya adalah, suatu usaha manusia untuk menelusuri, menyelidiki serta mempelajari asal usul dan pertumbuhan agama secara umum, melalui penelitian terhadap kelompok-kelompok masyarakat primitif. Tujuannya ialah untuk mendapatkan sebuah penjelasan tentang kapan, bagaimana serta mengapa agama bisa muncul.   
Biasanya, para antropolog-dalam penyelidikannya-menggunakan metode pendekatan budaya. Hal mana, yang menjadi objek penyelidikan atau pembelajaran adalah budaya (agama, kepercayaan, ritual dan sebagainya) yang ada pada masyarakat primitif tersebut. Kemudian akan menghasilkan sebuah teori tentang bagaimana bentuk awal dari agama atau, apakah berbentuk sebuah kepercayaan atau malah tidak ada bentuk sama sekali.
Berikut ini adalah beberapa macam teori yang pernah muncul :
  1. Animisme (Evolusi)
Pada tahun 1871, Edward B. Tylor (1832-1917) seorang antropolog inggris, di dalam bukunya Primitive Culture, ia berteori bahwa animisme adalah bentuk awal dari seluruh agama yang ada pada saat ini. Menurut teori ini, masyarakat primitif telah berkeyakinan bahwa setiap manusia didiami oleh suatu jiwa yang bersifat non materi, sewaktu ia bermimpi, jiwanya sementara terpisah dari badannya dan kalau manusia itu mati, maka jiwa itu terpisah dari badan untuk selamanya. Akan tetapi hidup dan bertempat pada berbagai benda. Kemudian berkembang menjadi fetishisme, penyembahan terhadap alam semesta, kemudian politheisme, percaya pada banyak tuhan, dan akhirnya monotheisme atau percaya pada satu tuhan.
  1. Totemisme (Evolusi)
Pada masa yang sama, seorang ahli sosiolog dan filsafat, Herbert Spencer (1820-1903) juga berteori bahwa agama itu berasal dari khayal atau dari roh-roh orang-leluhur- yang telah mati dan kemudian disembah sebagai dewa-dewa. Menurutnya, disebabkan oleh kebiasaan manusia zaman dahulu untuk menyebut dirinya dengan sebuah nama tambahan yang diambil dari nama binatang. Kemudian bila orang itu telah meninggal, nama tambahannya akan tetap diingat dan apabila rohnya disembah sebagai roh leluhur, maka nama tambahan tadi akan menyebabkan timbulnya paham totem dan adat penyembahan kepada binatang.
Akan tetapi kedua tokoh tersebut tidak bisa membuktikan bahwa orang primitif pada zaman pra sejarah sudah mempunyai pemikiran seperti ini, maka teori tentang perpindahan penyembahan dari roh-roh kepada dewa atau tuhan dianggap hanya berdasarkan rekaan-rekaan semata[3].
  1. Animatisme (evolusi)
Kemudian pada tahun 1899, R.R. Marett mengajukan sebuah teori yang kemudian dianggap sebagai penyempurnaan terhadap teori animisme[4], dan disebut sebagai teori Animatisme atau pra-animisme. Ia berpendapat bahwa penyembahan terhadap roh-roh bukanlah kepercayaan yang tertua. Menurutnya, kepercayaan yang tertua adalah kepercayaan terhadap suatu kekuatan yang bersifat nonpribadi yang hidup di dunia ini. Teori tersebut sangat mirip dengan teori magis. Dan memang jalan pikiran Marett sangat erat dengan dengan paham mana yang terdapat di kalangan suku-suku Malensia di kepulauan Pasifik.
  1. Magis (Evolusi)
Beberapa tahun sebelum R.R. Marett mengeluarkan teorinya, lebih jelasnya pada tahun 1890, James Frazer (1854-1941) telah menulis sebuah buku yang berjudul The Golden Bough. Ia berpendapat bahwa magis merupakan tingkatan awal dari kepercayaan manusia atau setidaknya merupakan tingkatan persiapan kea rah beragama. Dan di balik [ke]ma-gis[an] tersebut, ada sebuah kekuatan rohaniah yang menjadi ide dan mendasari semuanya. Magis dianggap sejenis ilmu primitif, dimana manusia membayangkan bahwa mereka akan dapat mengatur dan mempengaruhi kehidupan mereka sendiri atau orang lain. Tahapan berikutnya adalah saat manusia mengalami kegagalan-kegagalan dengan magisnya. Saat itulah mereka membayangkan adanya suatu kekuatan gaib yang dapat menolong mereka. Pada waktu itulah manusia sampai pada agama. Kemudian, setelah sampai pada beberapa abad terakhir, dengan kata lain abad moderen, agama berkembang pada satu bentuk lain, yaitu ilmu pengetahuan.
Akan tetapi kemudian teori tersebut juga tertolak dalam pandangan para ahli. Karena mereka tidak melihat bukti yang meyakinkan tentang magis merupakan bentuk awal dari agama. Yang jelas adalah, bahwa keduanya sama-sama hadir dalam setiap peradaban manusia. Maka pandangan, bahwa magis berkembang menjadi agama, dianggap tidak berdasarkan sejarah[5].
  1.  Primitif Mentality (Evolusi)
Teori selanjutnya adalah Primitive Mentality Theory. Teori ini di ajukan oleh Lucien Levi-Bruhl pada tahun 1922. Dengan teorinya ini ia berpendapat, bahwa masyarakat primitif memiliki semacam pikiran -yang disebutnya pre-logical thinking- yang berbeda dengan pikiran biasa. ia lebih menekankan perbedaan antara masyarakat primitif dan moderen. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa semua suku primitif melihat kematian disebabkan akibat dari kekuatan mistik, bukan disebabkan oleh sebab-sebab yang alamiah.
  1.  Atheisme (Evolusi)
Teori ateisme dihasilkan dari pemaduan antara penyelidikan arkeolgi dan penellitian antropologi yang dilakukan oleh seorang antropolog inggris, John Lubbock (1834-1913) melalui bukunya yang berjudul The Origin of Civilization and The Primitive Condition of Man. Di dalamnya terdapat sebuah bagan yang terdiri dari satu skema bercorak evolusi, dimulai dengan atheism, dalam arti tidak ad aide-ide keagamaan, kemudian berkembang pada fetishisme, atau penyembahan terhadap alam semesta, kemudian totemisme, suatu sistem kepercayaan yang mengakui terdapatnya hubungan antara binatang tertentu dengan suku, kemudian syamanisme, atau suatu sistem kepercayaan yang berpusat pada shaman (seorang atau pemuka agama yang dianggap memiliki kekuatan rohani), tahapan selanjutnya ialah anthropomorphisme atau monotheisme, percaya pada satu tuhan. Sedangkan bentuk yang terakhir adalah, yang ada sekarang ini, yaitu monotheisme etis, dalam pengertian dapat membedakan antara kesucian (kekuasaan) dan kesopansantunan (prilaku) tuhan.
  1. Urmonotheisme (lawan teori evolusi)
Urmonotheisme atau monotheisme purba, adalah lawan dari teori evolusi. Jika arti dari evolusi adalah, berkembangnya seseuatu dari bentuk yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit, maka teori urmonotheisme adalah kebalikannya. Teori tersebut, mulanya diajukan oleh Andrew Lang (1844-1912) seorang ahli cerita rakyat dari Scotlandia.
Kemudian, seorang pendeta katolik Roma, dan ahli antropologi jerman, Wilhelm Schmidt (1868-1954) memperkenalkan sebuah bukunya yang berjudul Der Ursprung der Gottesidee –asal usul ide tentang Tuhan- yang diterbitkannya sebanyak 12 jilid semenjak tahun 1912 hingga tahun 1955. Buku tersebut merupakan hasil dari penelitian-panjang-nya terhadap suku-suku primitif, Tieradel Fuegians di Amerika Selatan, Negrittos Rawanda di Afrika dan suku Andaman dari kepulauan Andaman, di Samudra Hindia. Di dalam setiap suku tersebut, Ia melihat adanya ide tentang Tuhan atau Dewa tertinggi. Pandangan ini didukung oleh seorang ahli antropologi Italia, Reffaele Pettazzoni (1883-1959) yang menonjolkan Dewa langit sebagai dewa tertinggi.
III.            PENUTUP
Jika kita mengerucutkan atau mengelompokkan teori-teori yang telah dihasilkan oleh para ahli, maka akan kita dapatka dua kelompok besar yang berlawanan. Pertama ialah kelompok teori yang bercorak Evolusi, baik yang diawali dengan animisme atau atheism dan sebagainaya. Yang kedua adalah kelompok teori yang sangat berlawanan dengan yang telah disebutkan.  Yaitu teori yang mengusung monoteisme sebagai ide awal dari semua agama yang ada.
IV.            DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah dkk., Perbandingan Agama, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.
Maman, U. Kh. dkk., Metodologi Penelitian Agama-Teori dan Praktik, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Azhari, Kautsar Noer., Zainul, M. Bahri., Pengantar Perbandingan Agama, Tanpa Penerbit, Jakarta, 2008.


[1] Prof. Dr. Zakiah. Darajat. dkk. Perbandingan Agama 2. Jakarta: Bumi Aksara 1996. hal. 37.
[2] Ibid, hal. 42.
[3] Prof. Dr. Zakiah. Darajat. dkk. Perbandingan Agama 2. Jakarta: Bumi Aksara 1996. hal. 43.
[4] Ibid, hal. 44.
[5] Prof. Dr. Zakiah. Darajat. dkk. Perbandingan Agama 2. Jakarta: Bumi Aksara 1996. hal. 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar