Bermula dari Silogisme Aristoteles
Silogisme Aristoteles, sebuah perjalanan logika deduktif yang amat panjang
sejak 2500 tahun yang silam, sejak Aristoteles dilahirkan di Stagira 384 SM,
tetapi logika ini akan tetap aktual dalam perjalanan manusia mencari makna diri
di alam semesta ini, bahkan sesungguhnya silogisme Aristoteleslah yang
mendasari prinsip-prinsip Antropik Kosmos (Cosmic Anthropic_principle). Konsep
silogisme Aristoteles adalah konsep dasar tatkala kesadaran manusia harus
menapak awal melihat fenomena Jagad Semesta dan mulai menganalisa keajaiban
kehidupan bumi, kemudian manusia menyadari bahwa
dirinya sendiri akan menjadi tiada seperti spesies makhluk hidup lainnya, mortal.
Silogisme Aristoteles lebih mudah difahami dari persamaan matematika berikut, jika A = B dan B = C maka A = C
A B C
Inilah pertanyaan-pertanyaan abadi tentang kesadaran manusia :
Jika kita harus berkata bahwa kesadaran manusia itu lahir dari kegelapan goa goa awal peradaban manusia, maka adalah logis jika suatu hari kelak kita akan lahir kembali dalam kondisi yang sama, kegelapan di goa awal peradaban. Dalam bentuk silogisme Aristoteles A = B = C.
100.000 tahun yang lalu, dimana kesadaran semesta itu berada? Apakah masih berevolusi dalam diri dalam spesies Homo_erectus?
10.000 tahun yang lalu, peradaban manusia lantas muncul dan sampai saat ini, apakah yang sebenarnya terjadi pada 200 milayr sel-sel syaraf spesies manusia? Angka 10,000 tahun adalah tidak sebanding dengan 3 juta tahun atau 4.5 milyar tahun yang silam untuk menyatakan bahwa kesadaran manusia itu baru memulai evolusi. Angka 10,000 tahun lebih tepat kita lihat sebagai fenomena revolusi kesadaran semesta dari munculnya kesadaran manusia.
dirinya sendiri akan menjadi tiada seperti spesies makhluk hidup lainnya, mortal.
Silogisme Aristoteles lebih mudah difahami dari persamaan matematika berikut, jika A = B dan B = C maka A = C
A B C
Inilah pertanyaan-pertanyaan abadi tentang kesadaran manusia :
Jika kita harus berkata bahwa kesadaran manusia itu lahir dari kegelapan goa goa awal peradaban manusia, maka adalah logis jika suatu hari kelak kita akan lahir kembali dalam kondisi yang sama, kegelapan di goa awal peradaban. Dalam bentuk silogisme Aristoteles A = B = C.
100.000 tahun yang lalu, dimana kesadaran semesta itu berada? Apakah masih berevolusi dalam diri dalam spesies Homo_erectus?
10.000 tahun yang lalu, peradaban manusia lantas muncul dan sampai saat ini, apakah yang sebenarnya terjadi pada 200 milayr sel-sel syaraf spesies manusia? Angka 10,000 tahun adalah tidak sebanding dengan 3 juta tahun atau 4.5 milyar tahun yang silam untuk menyatakan bahwa kesadaran manusia itu baru memulai evolusi. Angka 10,000 tahun lebih tepat kita lihat sebagai fenomena revolusi kesadaran semesta dari munculnya kesadaran manusia.
Sederhananya
bandingkan 200 milayr sel-sel syaraf manusia itu dengan sebuah transformator
listrik Jika input transformator adalah fungsi tegangan/arus/frekwensi listrik
A maka outputnya adalah fungsi tegangan/arus/frekwensi B. Sedangkan input dari
200 milyar sel-syaraf kita adalah suatu 'Dimensi Kesadaran Semesta' yang
memang kekal eksistensinya melihat 'Masa Depan Semesta' sebagai
ouputnya. Fungsi kesadaran manusia adalah untuk melihat Masa Depan Jagad
Semesta sambil 'bermain-main' di Bumi ini, tetapi bukan untuk mengeksekusi
Semesta Kosmos sejauh 13.7 milyar tahun cahaya.
Kita
bertemu di bumi berbangsa-bangsa berbeda bahasa adalah untuk memahami bahwa
Bumi tinggal Satu untuk kelak menghadap Sang Pencipta. Pada akhirnya manusia
akan faham bahwa Logika Hari Kiamat adalah realitas indahnya Keabadian
Kesadaran Semesta, betapapun perbedaan kita dalam bermimpi tentang makna
keabadian.
Fungsi
Kesadaran Semesta >> 200 milayr sel-sel syaraf manusia >> Fungsi
Masa Depan Semesta
Fungsi (V,I,f,A) >> transformator listrik >> Fungsi (V,I,f,B)
Fungsi (V,I,f,A) >> transformator listrik >> Fungsi (V,I,f,B)
Tatkala
kesadaran manusia harus muncul dan tumbuh, maka mulailah kita mencari asal
muasal kesadaran itu muncul. Kesadaran kita akan selalu mengarah kepada
penyederhanan dan penyederhanaan dari kompleksitas observasi seorang manusia
seperti Aristoteles. Solusinya adalah membuat sistematika yang logis dengan
cara membuat klasifikasi, inilah cara berfikir logis sang jenius Aristoteles
tanpa mikroskop dan tanpa teleskop disampingnya. Kita membayangkan pribadi
pribadi pengamat kosmos seperti Plato, Socrates, atau Aristoteles yang harus
berfikir tentang alam semesta tanpa penemuan dasar seperti mikroskop, teleskop,
atau mesin cetak Gutenberg, maka hasilnya berupa istilah klasifikasi orisinal
mereka seperti analytica, dialectica, physica, matematica , scientifica, etica,
politica, medica adalah penemuan luar biasa. Lucunya saat kini kita seolah
kembali ke cara berfikir ala Aristoteles dimana pada saat ini fitrah manusia
millennium mengalami ‘kebuntuan kosmologi’ dalam menyimpulkan angka 13.7 milyar
tahun cahaya. Lantas apa maknanya silogisme Aristoteles 2500 tahun silam dan
prinsip antropika millennium dalam memandang kosmos. Jangan jangan
Aristoteles-lah yang benar bahwa bumi adalah pusat alam semesta, dan paling
tidak kesadaran manusia di bumi adalah satu satunya kesadaran yang pernah
ditemukan di alam semesta, jadi barangkali bumi-lah pusat kesadaran kosmos
semesta. Karena Sang Pengamat Kosmos cuma Satu adanya di Bumi, Sang Manusia.
Quo Vadis Aristoteles !!!
Referensi
kita bermula pada definisi pra sejarah dan sejarah tulis menulis, dan kita
mengacu pada angka 10,000 tahun sejarah manusia di bumi, maka sebelum 10,000
tahun kita menganggap sebagai bagian kehidupan manusia purba pra sejarah. 'Dawn
of Civilization' atau 'Fajar Peradaban' bermula dari tepian sungai Eufrat
Mesopotania, Timur Tengah, tepatnya di Irak masa kini, atau juga boleh jadi
bermula di tepian sungai Gangga, Harappa India. Namanya juga fajar , maka pada
umumnya suasana fajar itu berkabut, karena belum penuh disinari terangnya sang
surya, jadi kita susah susah gampang melacaknya lewat arti guratan-guratan batu
bertulis. Seorang bayi manusia akan terlahir sama dalam melihat kesadaran
sekelilingnya, karena mungkin tidak bisa melihat jelas bayang-bayang ibunya yang
mengasihinya, lantas ia menangis sekeras-kerasnya menyatakan bahwa dirinya
hadir di alam semesta ini. Ia akan tumbuh sadar dan akan dapat menatap takjub
kepada dunia memulai suatu proses kesadaran semesta. Mungkin kondisi ekivalen
silogis ini adalah sama pada saat ini manusia mencoba membayangkan bentuk dan
nasib kosmos sejauh 13,700,000,000 tahun cahaya, maka kabur mata penglihatan
fikiran kita, apa sesungguhnya makna 10,000 tahun dibandingkan dengan angka tak
berhingga itu? Sungguh diluar kekuasaan manusia!!
Bayangkan
perjalanan peradaban manusia 7500 tahun dahulu dari Mesopotania, 5000 tahun
silam dari Mesir, 2500 tahun berlalu kemarin dari Yunani dan Romawi , dan
cobalah bayangkan apakah yang terjadi 10,000 tahun kelak mendatang. Bayangkan
manusia harus melepaskan ketergantungan energi fosil dan seharusnya juga
ketergantungan akan keinginan pengunaan energi nuklir di masa depan !!!
Kemudian coba bayangkan ‘segmen segmen kubus’ 10,000 tahun itu kita susun agar
terbentuk piramida bervolume 13,700,000,000 tahun. Lantas apakah kita percaya,
bahwa segmen 10,000 tahun kesadaran manusia itu saat ini sekarang tepat berada
di puncak piramida ruang waktu menghadap Wajah Sang Maha Pencipta pada jarak
10exp(-100) meter?
Ketika Aristoteles pada akhirnya menyimpulkan bahwa bumi adalah pusat alam semesta, maka pandangan yang salah inipun belum mampu membuat manusia milenium menemukan makhluk hidup lain selain di permukaan bumi ini. Ketika kita harus bertanya tentang diri kita sendiri, maka kita sampai saat ini masih berdebat apakah kesadaran manusia itu hanya sekadar proses materi kimiawi plus foton plus elektron, atau kesadaran kita itu sebenarnya adalah proses kesadaran di luar ruang waktu fisik materi, artinya kesadaran kita saat ini sebenarnya ‘tidak berlokasi’ di bumi, hanyalah materi tubuh kita yang berada di bumi, atau orang bilang bahwa kesadaran kita itu adalah metafisika. Hebatnya kesadaran ‘metafisika’ ini telah mampu menunjukkan eksistensinya selama 4.5 milyar tahun sejak zaman eon Hadean di muka bumi ini, dimana salah satu proses perdananya adalah ‘tugas melukis’ angkasa menjadi berwarna biru dari asalnya yang berwarna kelam kelabu. Ini jelas bukanlah pekerjaan 10,000 tahunan, dan itu pasti memerlukan atmosfir yang mengandung oksigen, nitrogen, uap air sehingga langit angkasa akan menjadi berwarna biru. Lantas dari mana berasalnya oksigen, kalau bukan berasal dari proses fotosintesa makhluk makhluk hidup prokaryota(semacam plankton) bermilyar tahun lamanya berinteraksi dengan foton cahaya matahari.
Ketika Aristoteles pada akhirnya menyimpulkan bahwa bumi adalah pusat alam semesta, maka pandangan yang salah inipun belum mampu membuat manusia milenium menemukan makhluk hidup lain selain di permukaan bumi ini. Ketika kita harus bertanya tentang diri kita sendiri, maka kita sampai saat ini masih berdebat apakah kesadaran manusia itu hanya sekadar proses materi kimiawi plus foton plus elektron, atau kesadaran kita itu sebenarnya adalah proses kesadaran di luar ruang waktu fisik materi, artinya kesadaran kita saat ini sebenarnya ‘tidak berlokasi’ di bumi, hanyalah materi tubuh kita yang berada di bumi, atau orang bilang bahwa kesadaran kita itu adalah metafisika. Hebatnya kesadaran ‘metafisika’ ini telah mampu menunjukkan eksistensinya selama 4.5 milyar tahun sejak zaman eon Hadean di muka bumi ini, dimana salah satu proses perdananya adalah ‘tugas melukis’ angkasa menjadi berwarna biru dari asalnya yang berwarna kelam kelabu. Ini jelas bukanlah pekerjaan 10,000 tahunan, dan itu pasti memerlukan atmosfir yang mengandung oksigen, nitrogen, uap air sehingga langit angkasa akan menjadi berwarna biru. Lantas dari mana berasalnya oksigen, kalau bukan berasal dari proses fotosintesa makhluk makhluk hidup prokaryota(semacam plankton) bermilyar tahun lamanya berinteraksi dengan foton cahaya matahari.
Saat ini
kita menyadari adanya hubungan yang erat antara materi, energi , dan
'kesadaran' itu adalah vektor vektor ruang waktu yang realitasnya adalah
'dominan' yang barangkali memang 'kesadaran nyata' itu diperlukan untuk
menetukan masa depan kosmos, karena angka 4.5 milyar tahun kehidupan bumi
adalah setara dengan angka 13.7 milyar tahun sejak Ledakan Besar, tetapi angka
10,000 tahun kesadaran manusia di bumi adalah 'begitu kecil dan tidak berarti'
secara matematis dibanding dengan angka raksasa 13,700,000,000 tahun perjalanan
cahaya. Tetapi apakah kesadaran manusia itu hanyalah serpihan debu angkasa luar
yang mampir ke bumi? Kenapa baru muncul 10,000 tahun dan kita seperti mempunyai
tugas mengukur dimensi ruang waktu, materi, energi, dan kehidupan itu sendiri,
kemudian terkadang kita bertanya siapakah sebenarnya 'kita' dan sebenarnya
tugas kita untuk apa ?
Pada saat
ini ketika realitas pengertian kosmos menjadi buntu akibat ukuran 13.7 milyar
tahun cahaya yang sedemikan raksasanya, maka logika deduktif Aristoteles cukup
menolong menenangkan fikiran kita tentang kesadaran sendiri yang selalu mentok
dengan persoalan keterbatasan mortalitas, di lain sisi kita selalu ingin
memberontak bahwa kita ingin bermimpi mempunyai kapasitas imortalitas. Jadi
kita akan selalu menghadapi realitas yang absurd !!!! Tetapi dengan silogisme
Aristoteles ataupun prinsip Antropika (Anthropic Principles), kita akan
mencapai suatu pengertian dalam pencarian kausal mendekati suatu pemahaman akan
adanya 'Prima Causa'.
Bermula
kita menjadi bahagia atas kehadiran pemikiran Einstein bahwa materi itu
mempunyai hubungan khusus dengan cahaya dan totalitasnya adalah energi kosmos
yang tertuang dalam formulasi E=mc2. Secara sederhananya bahwa materi itu
diperintahkan untuk bercahaya, maka kita dapat melihat bahwa materi bintang
bintang nun jauh galaksi disana akan mengeluarkan cahaya lewat proses fusi
nuklirnya yang berlangsung bermilyar tahun cahaya. Sebuah keseimbangan materi
dan energi kosmos dimana cahaya adalah tetapan abadi 300,000 km/detik dalam
ruang vakum. Ruang waktu boleh melengkung tetapi cahaya akan tetap abadi
menyinari alam semesta dengan konstan.
Jika kita
terus bertanya dari mana asal muasal materi dan energi kosmos sejak bermulanya
Ledakan Besar 13.7 milyar tahun lalu, maka lagi lagi kita mengalami ‘Pertanyaan
Besar’. Sebaiknya kita menikmati perjalanan asal muasal keindahan kehidupan di
bumi dimana hubungan antara makhluk hidup dengan materi dan energi(cahaya
matahri) sudah demikian lamanya sejak zaman eon Hadean sekitar 4,500,000,000
tahun lalu. Bagaimana mengubah lautan H20(rumus molekul air) yang berwarna
kehitaman menjadi berwarna indah kebiruan dan terkadang kehijauan di kedalaman
laut yang kita pandang. Sebelum terisi oleh makhluk makhluk hidup yang bergerak
seperti ikan, maka lautan di permukaan bumi ini seolah seperti dasar kanvas
yang akan dilukis dengan warna dasar biru. Orang bilang warna dasar cinta kasih
adalah biru, tepatnya biru laut.
Kesadaran
manusia selalu mencari jalan menuju ‘keabadian’ apapun perbedaan pendapat manusia
tentang arti keabadian. Kita menyadari bahwa kita mortal dan kita faham lawan
kata mortal adalah imortal. Jika kita menyatakan bahwa hidup kita sebentar
hanya berkisar di angka sekitar 70 tahun, hal itu adalah realitas, tetapi
ternyata kehidupan di bumi telah berlangsung 4.5 milyar tahun , maka secara
total kita melihat adanya suatu fenomena 'imortalitas', dan kita dapat
meneruskan hipotesa kita tentang adanya 'keabadian'. Mungkin boleh saja kita
menduga bahwa kehidupan itu mestinya abadi, dan 'kita' akan kembali ke suatu
'Titik Awal', dimana manusia akan selalu berdebat tentang 'Titik Awal' itu
sendiri, apakah 'Titik Awal' hanyalah berupa Ledakan Besar 13.7 milyar tahun
lalu.
Jika kita
berbicara tentang 'Titik Awal' kesadaran kita, maka boleh saja kita menyatakan
bahwa setiap manusia berasal dari 1(satu) sel zygote yang kemudian mengalami
‘Ledakan Besar’ selama 17 tahun menjadi dewasa dan menjadi manusia besar dengan
jumlah sel sebanyak 100 triliun sel hidup dalam tubuhnya. Siapa bilang mudah
mengatur pertumbuhan dari satu sel zygote menjadi 100.000.000.000.000 sel yang
berorganisasi secara sempurna dan seimbang, ini suatu fenomena hebat, bahkan
mungkin lebih hebat dari proses lahirnya bintang bintang galaksi tahunan cahaya
nun jauh disana. Belum lagi kalau kita melihat warna warni keberagaman species
makhluk hidup, sampai dengan keinginan kuat kita mengetahui kronologi
perjalanan panjang 'tarian abadi double-helix' DNA/RNA berinteraksi dengan
materi dan energi cahaya matahari di permukaan bumi. Ini semua membuktikan
bahwa kita ingin tahu dan selalu mencari apa arti 'Titik Awal' memori,
Mem-Origin disingkat menjadi Memorigin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar